Kamis, 21 November 2013


‘JUAL BELI MURABAHAH, SALAM, DAN ISTISHNA’’




BAB I
PEMBAHASAN

A.     Jual Beli Murabahah
1.      Pengertian Jual Beli Murabahah
Kata murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa keuntungan yang ingin diperoleh. [1]
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian), dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual. Murabahah bukanlah merupakan transaksi dalam bentuk memberikan pinjaman/kredit pada orang lain dengan adanya penambahan interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli komoditas. Jual beli ini menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang diinginkan.[2]
Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan habis penangguhan pembayaran dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark up profit. Harga mark up ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena jika pihak yang didanai mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah yang harus dibayar tetap sama.  Mark up sebagai tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya dalam memeroleh barang dan resiko yang dihadapi dalam upaya perolehan tersebut. Dalam transaksi ini, A meminta B untuk membeli komoditi dengan spesifikasi tertentu, setelah B mendapatkannya menjual kepada A dengan murabahah.[3]
Murabahah berbeda dengan jual beli biasa (musawamah) dimana dalam jual beli musawamah terdapat proses tawar-menawar (bargaining) antara penjual dan pembeli untuk menentukan harga jual, dimana penjual juga tidak menyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan. Sedangkan murabahah, harga beli dan margin yang diinginkan harus dijelaskan kepada pembeli.[4]

2.      Syarat dan Rukun Murabahah
Akad jual beli murabahah akan sah apabila memenuhi beberapa syarat berikut :
a.      Mengetahui harga pokok (harga beli), disyaratkan bahwa harga beli harus diketahui oleh pembeli kedua, karena hal itu merupakan syarat mutlak bagi keabsahan jual beli murabahah. Jika harga beli tidak dijelaskan kepada pembeli kedua dan ia telah meninggalkan majlis, maka jual beli dinyatakan rusak dan akadnya batal.
b.      Adanya kejelasan margin (keuntungan) yang diinginkan penjual kedua, keuntungan harus dijelaskan nominalnya kepada pembeli kedua atau dengan menyebutkan presentase dari harga beli.
c.      Modal yang digunakan untuk membeli objek transaksi harus merupakan barang mitsli, yaitu terdapat padanannya di pasaran, alangkah baiknya jika menggunakan uang. Jika modal yang dipakai merupakan barang qimi/ghair mitsli, misalnya pakaian dan marginnya uang, maka diperbolehkan.
d.      Akad jual beli pertama harus sah adanya, artinya transaksi yang dilakukan penjual pertama dan pembeli pertama harus sah, jika tidak  maka transaksi yang dilakukan oleh penjual kedua (pembeli pertama) dengan pembeli kedua hukumnya fasid/rusak dan akadnya batal.[5]

3.      Dasar Hukum Jual Beli Murabahah
Murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil (landaan syariah) yang memerbolehkan praktik akad jual beli murabahah adalah sebagai berikut :
a.      “Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu” (QS. An Nisa : 29). Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Di antara transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung bunga (riba) sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan uunsur bunga, namun hanya menggunakan margin. Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan kewajiiban masing-masing.
b.      “...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275). Dalam ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.
c.      Dari Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. Hadits ini yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Majah ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang yang terdapat dalam jual beli murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.[6]

4.      Penerapan Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Cara operasi bank syariah hakikatnya sama saja dengan bank konvensional, yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktik lainnya yang menurut syariat islam tidak dibenarkan. Bank ini memang tidak menggunakan konsep bunga seperti bank konvensional lainnya.[7]
Produk dalam bank syariah yaitu pembiayaan dengan margin (murabahah), dalam produk ini terjadi transaksi antara pembeli (nasabah) dan penjual (bank). Bank dalam hal ini membelikan barang yang dibutuhkan nasabah (nasabah yang menentukan spesifikasinya) dan menjualnya kepada nasabah dengan harga plus keuntungan. Jadi produk ini, bank menerima laba atas jual beli. Harga pokoknya sama-sama diketahui oleh dua belah pihak. Apa yang dibeli nasabah, uang atau pinjaman? Tentu bukan uang dan bukan juga pinjaman, karena menjual  uang dengan benda sejenis dengan imbalan lebih adalah riba dalam terminologi islam. Nasabah menerimanya dalam produk yang diinginkan melalui bank, produk ini biasanya modal kerja dan berjangka pendek.[8]
Murabahah merupakan salah satu bentuk penghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik untuk kegiatan usaha. secara umum, nasabah pada perbankan syariah mengajukan permohonan pembelian suatu barang. Dimana barang tersebut akan dilunasi oleh pihak bank syariah kepada penjual, sementara nasabah bank syariah melunasi pembiayaan bank tersebut kepada bank syariah dengan menambah sejumlah margin kepada pihak bank sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada perjanjian murabahah yang telah disepakti sebelumnya antara nasabah dengan bank syariah. Setelah itu pihak nasabah dapat melunasi pembiayaan tersebut baik dengan cara tunai maupun dengan cara kredit.[9]

B.     Jual Beli Salam
1.      Pengertian Jual Beli Salam
Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.[10] Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual. Misalnya si penjual berkata, “ Saya jual kepadamu satu meja tulis dari jati, ukurannya 140x100 cm, tingginya 75 cm, sepuluh laci, dengan harga Rp. 100.000,- “. Pembeli pun berkata, “ Saya beli meja dengan sifat tersebut dengan harga Rp. 100.000,-”. Dia membayar uangnya sewaktu akad itu juga, tetapi mejanya belum ada. Jadi, salam  ini merupakan jual beli utang dari pihak penjual dan kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad.[11]

2.      Rukun dan Syarat Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:
a.      Muslam atau pembeli
b.      Muslam ilaih atau penjual
c.      Modal atau uang
d.      Muslam fiihi atau barang
e.      Sighat atau ucapan[12]
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a.      Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
b.      Barangnya menjadi utang bagi penjual
c.      Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah
d.      Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu
e.      Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda
f.       Disebutkan tempat menerimanya.[13]

3.      Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a.      Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
b.      Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
c.      Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d.      Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.[14]
4.      Dasar Hukum Jual beli Salam
Landasan syariah dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:
a.      Dalam surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaya ayat tersebut.
b.      Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)[15]

5.      Salam Paralel
Salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan pengawas syariah Rajhi Banking dan Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama. Beberapa ulama kontemporer memberikan catatan atas transaksi salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba.[16]
6.      Pembiayaan Salam Pada Perbankan Syariah
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum pembiayaan salam dalah sebagai berikut :
a.      Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya, jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas A dengan harga Rp. 5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
b.      Apabila hasil produksinyang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab denagn cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
c.      Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme ini disebut paralel salam.[17]

C.     Jual Beli Istishna’
1.      Pengertian Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.[18]

2.      Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
a.      Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
b.      Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c.      Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan
d.      Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e.      Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati
f.       Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
a.      Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta
b.      Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli
c.      Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.[19]

3.      Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.[20]
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.[21]

4.      Istishna’ Paralel
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.
Ada beberapa konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna’ paralel. Diantaranya sebagai berikut:
a.      Bank islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
b.      Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap bank islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah dengan kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
c.      Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna; paralel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.[22]

5.      Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah
Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.[23]  Bila nasabah membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka status dari barang tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pembelian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktikanya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil produksi tersebut disewakan skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).[24]

D.     Perbedaan Murabahah, Salam dan Istishna’
Murabahah, salam, dan istishna’ merupakan jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli, dimana barangnya sudah ada, sedangkan dalam salam dan istishna’ adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.[25]




[1] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta:Kencana, 2012) hal 136
[2] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010) hal 104-105
[3] Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal 57
[4] Dimyauddin Djuwaini, Op.cit.,hal 105
[5] Ibid., hal 108-109
[6] Ibid., hal 106-107
[7] Sofyan Syafri, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2004)hal 94-95
[8] Ibid., hal 95
[9] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)hal 26-27
[10] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)hal 143
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Al Gensindo,2012)hal 294-295
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,2001)hal 109
[13] Mardani, Op.cit.,hal 114
[14] Ibid.,  hal 116
[15] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit., hal 108-109
[16] Ibid., hal 110-111
[17] Mardani, Op.cit., hal 123
[18] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit., hal 113
[19] Mardani, Op.cit.,hal 125-126
[20] Ibid., hal 126
[21] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit., hal 114
[22] Ibid., hal 115
[23] Mardani, Op.cit.,hal 135
[24] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit., hal 164
[25] Mardani, Op.cit., hal 139