BAB I
PEMBAHASAN
A.
Jual Beli Murabahah
1.
Pengertian Jual Beli
Murabahah
Kata murabahah berasal dari kata ribhu
(keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Jual beli
murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang
dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi
jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib al-mal dan
pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Jual beli murabahah adalah
pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah
mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau
tambahan harga yang transparan. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural
certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa keuntungan yang
ingin diperoleh. [1]
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli
dimana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian), dan tambahan
profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual. Murabahah bukanlah
merupakan transaksi dalam bentuk memberikan pinjaman/kredit pada orang lain
dengan adanya penambahan interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli
komoditas. Jual beli ini menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan
permintaan nasabah, dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga
jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang
diinginkan.[2]
Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan
habis penangguhan pembayaran dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark
up profit. Harga mark up ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran,
karena jika pihak yang didanai mengalami default pada saat jatuh tempo maka
jumlah yang harus dibayar tetap sama. Mark up sebagai tingkat keuntungan yang
diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya dalam memeroleh barang dan
resiko yang dihadapi dalam upaya perolehan tersebut. Dalam transaksi ini, A
meminta B untuk membeli komoditi dengan spesifikasi tertentu, setelah B
mendapatkannya menjual kepada A dengan murabahah.[3]
Murabahah berbeda dengan jual beli biasa
(musawamah) dimana dalam jual beli musawamah terdapat proses tawar-menawar
(bargaining) antara penjual dan pembeli untuk menentukan harga jual, dimana
penjual juga tidak menyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan.
Sedangkan murabahah, harga beli dan margin yang diinginkan harus dijelaskan
kepada pembeli.[4]
2.
Syarat dan Rukun
Murabahah
Akad jual beli murabahah akan sah apabila
memenuhi beberapa syarat berikut :
a.
Mengetahui harga
pokok (harga beli), disyaratkan bahwa harga beli harus diketahui oleh pembeli
kedua, karena hal itu merupakan syarat mutlak bagi keabsahan jual beli
murabahah. Jika harga beli tidak dijelaskan kepada pembeli kedua dan ia telah
meninggalkan majlis, maka jual beli dinyatakan rusak dan akadnya batal.
b.
Adanya kejelasan
margin (keuntungan) yang diinginkan penjual kedua, keuntungan harus dijelaskan
nominalnya kepada pembeli kedua atau dengan menyebutkan presentase dari harga
beli.
c.
Modal yang digunakan
untuk membeli objek transaksi harus merupakan barang mitsli, yaitu terdapat
padanannya di pasaran, alangkah baiknya jika menggunakan uang. Jika modal yang
dipakai merupakan barang qimi/ghair mitsli, misalnya pakaian dan marginnya
uang, maka diperbolehkan.
d.
Akad jual beli
pertama harus sah adanya, artinya transaksi yang dilakukan penjual pertama dan
pembeli pertama harus sah, jika tidak
maka transaksi yang dilakukan oleh penjual kedua (pembeli pertama)
dengan pembeli kedua hukumnya fasid/rusak dan akadnya batal.[5]
3.
Dasar Hukum Jual
Beli Murabahah
Murabahah merupakan akad jual beli yang
diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al
Qur’an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil (landaan syariah) yang
memerbolehkan praktik akad jual beli murabahah adalah sebagai berikut :
a.
“Hai orang yang
beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela
di antaramu” (QS. An Nisa : 29). Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang
batil. Di antara transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung
bunga (riba) sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbeda
dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan uunsur bunga, namun hanya
menggunakan margin. Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi
murabahah harus berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak yang dituangkan
dalam suatu perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut
hak dan kewajiiban masing-masing.
b.
“...dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275). Dalam
ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta
menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli
murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk
dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan
salah satu jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.
c.
Dari Abu Said al
Khudri bahwa Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan
suka sama suka”. Hadits ini yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Majah
ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum. Hadits ini memberikan
prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan
masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang yang
terdapat dalam jual beli murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yang
diinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan
kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.[6]
4.
Penerapan Murabahah
Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Cara operasi bank syariah hakikatnya sama
saja dengan bank konvensional, yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan
praktik lainnya yang menurut syariat islam tidak dibenarkan. Bank ini memang
tidak menggunakan konsep bunga seperti bank konvensional lainnya.[7]
Produk dalam bank syariah yaitu
pembiayaan dengan margin (murabahah), dalam produk ini terjadi transaksi antara
pembeli (nasabah) dan penjual (bank). Bank dalam hal ini membelikan barang yang
dibutuhkan nasabah (nasabah yang menentukan spesifikasinya) dan menjualnya
kepada nasabah dengan harga plus keuntungan. Jadi produk ini, bank menerima
laba atas jual beli. Harga pokoknya sama-sama diketahui oleh dua belah pihak.
Apa yang dibeli nasabah, uang atau pinjaman? Tentu bukan uang dan bukan juga
pinjaman, karena menjual uang dengan
benda sejenis dengan imbalan lebih adalah riba dalam terminologi islam. Nasabah
menerimanya dalam produk yang diinginkan melalui bank, produk ini biasanya
modal kerja dan berjangka pendek.[8]
Murabahah merupakan salah satu bentuk
penghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik untuk kegiatan
usaha. secara umum, nasabah pada perbankan syariah mengajukan permohonan pembelian
suatu barang. Dimana barang tersebut akan dilunasi oleh pihak bank syariah
kepada penjual, sementara nasabah bank syariah melunasi pembiayaan bank
tersebut kepada bank syariah dengan menambah sejumlah margin kepada pihak bank
sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada perjanjian murabahah yang telah
disepakti sebelumnya antara nasabah dengan bank syariah. Setelah itu pihak
nasabah dapat melunasi pembiayaan tersebut baik dengan cara tunai maupun dengan
cara kredit.[9]
B.
Jual Beli Salam
1.
Pengertian Jual Beli
Salam
Secara terminologi, jual beli salam ialah
menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang
ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.[10] Jual
beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan
dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual. Misalnya si
penjual berkata, “ Saya jual kepadamu satu meja tulis dari jati, ukurannya
140x100 cm, tingginya 75 cm, sepuluh laci, dengan harga Rp. 100.000,- “.
Pembeli pun berkata, “ Saya beli meja dengan sifat tersebut dengan harga Rp.
100.000,-”. Dia membayar uangnya sewaktu akad itu juga, tetapi mejanya belum
ada. Jadi, salam ini merupakan jual beli
utang dari pihak penjual dan kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah
dibayarkan sewaktu akad.[11]
2.
Rukun dan Syarat
Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus
terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:
a.
Muslam atau pembeli
b.
Muslam ilaih atau
penjual
c.
Modal atau uang
d.
Muslam fiihi atau
barang
e.
Sighat atau ucapan[12]
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a.
Uangnya dibayar di
tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
b.
Barangnya menjadi
utang bagi penjual
c.
Barangnya dapat diberikan
sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang
tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang
waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah
d.
Barang tersebut
hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan
cara menjual barang itu
e.
Diketahui dan
ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada
keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat
itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda
f.
Disebutkan tempat
menerimanya.[13]
3.
Perbedaan antara Jual
Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual
beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara
keduanya. Misalnya :
a.
Dalam jual beli
salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa
tidak perlu.
b.
Dalam jual beli
salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual
beli biasa tidak dapat dijual.
c.
Dalam jual beli
salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan
kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang
dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d.
Dalam jual beli
salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam jual beli
biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang
berlangsung.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa
aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan
dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.[14]
4.
Dasar Hukum Jual
beli Salam
Landasan syariah dari jual beli salam terdapat
di dalam Al Qur’an dan hadits:
a.
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas
menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini
tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang
dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya
dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaya ayat tersebut.
b.
Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan
(untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barang siapa
melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan:
jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)[15]
5.
Salam Paralel
Salam paralel berarti melaksanakan dua
transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok
(suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan pengawas syariah
Rajhi Banking dan Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang
membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam
kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama. Beberapa ulama
kontemporer memberikan catatan atas transaksi salam paralel, terutama jika
perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal
demikian diduga akan menjurus kepada riba.[16]
6.
Pembiayaan Salam
Pada Perbankan Syariah
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang
yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara
tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli,
sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon,
namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan
barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah
diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau
nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang
ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan.
Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan
(bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua
pihak harus nmenyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan
jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya
transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti
pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara
tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum pembiayaan salam dalah sebagai
berikut :
a.
Pembelian hasil
produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam,
ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya, jual beli 100 kg mangga harum manis
kualitas A dengan harga Rp. 5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan
mendatang.
b.
Apabila hasil
produksinyang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah
(produsen) harus bertanggung jawab denagn cara antara lain mengembalikan dana
yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
c.
Mengingat bank tidak
menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory),
maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga
(pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme
ini disebut paralel salam.[17]
C.
Jual Beli Istishna’
1.
Pengertian Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak
penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang
menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain
untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan
menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta
sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’
merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini
dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’
mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.[18]
2.
Syarat dan Rukun
Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
a.
Bai’ istishna’
mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
b.
Bai’ istishna’ dapat
dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c.
Dalam bai’ istishna’,
identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan
d.
Pembayaran dalam
bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e.
Setelah akad jual
beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi
akad yang sudah disepakati
f.
Jika objek dari
pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak
pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
a.
Al-‘Aqidain (dua
pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta
b.
Shighat, yaitu
segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak,
yaitu penjual dan pembeli
c.
Objek yang
ditransaksikan, yaitu barang produksi.[19]
3.
Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’
berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw.
bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam
Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. minta
dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di
bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau
duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku
tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian
dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi
Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang
cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau
meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i
menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw.
tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti
ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.[20]
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa
bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena
itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut
pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi perselisihan atas jenis dan
kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan
ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.[21]
4.
Istishna’ Paralel
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa
saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan
kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’
kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini
dikenal sebagai istishna’ paralel.
Ada beberapa konsekuensi saat bank islam
menggunakan kontrak istishna’ paralel. Diantaranya sebagai berikut:
a.
Bank islam sebagai
pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel atau
subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian sebagai
shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap
kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak
paralel.
b.
Penerima subkontrak
pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap bank islam sebagai
pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah
dengan kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak paralel,
tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan
demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
c.
Bank sebagai shani’
atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab
kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul
darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna; paralel, juga
menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.[22]
5.
Istishna’ dalam
Lembaga Keuangan Syariah
Produk istishna’ menyerupai produk salam,
tetapi dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa
kali pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada
pembiayaan manufaktur dan konstruksi.[23] Bila nasabah membutuhkan pembiayaan untuk
produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’
al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan
harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi
ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan
dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses
produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas
work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses
berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa
bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah
keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesai
dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal,
pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi
ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka status dari barang
tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu
untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil
keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pembelian
fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank juga telah mencari potential
purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktikanya,
potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari
nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema
pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil produksi tersebut
disewakan skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan
dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah) atau dari
hasil sewa (ijarah).[24]
D.
Perbedaan Murabahah,
Salam dan Istishna’
Murabahah, salam, dan istishna’ merupakan jenis
pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada
akad jual beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu,
maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga
pokok ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin)
dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah
pihak. Murabahah merupakan jual beli, dimana barangnya sudah ada, sedangkan
dalam salam dan istishna’ adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.[25]
[1] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta:Kencana, 2012) hal
136
[2] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2010) hal 104-105
[3] Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal 57
[5] Ibid., hal 108-109
[6] Ibid., hal 106-107
[7] Sofyan Syafri, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara,2004)hal 94-95
[8] Ibid., hal 95
[9] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010)hal 26-27
[10] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)hal 143
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Al
Gensindo,2012)hal 294-295
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani,2001)hal 109
[14] Ibid., hal
116
[25] Mardani, Op.cit., hal 139
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
BalasHapushingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
profit,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009